BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Untuk menciptakan bangsa yang memiliki
kesadaran, kemauman dan kemampuan hidup sehat di butuhkan kerjasama masyarakat
dalam menciptakan pembangunan kesehatan. Pembagunan kesehatan di Indonesi
berfungsi untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk
hidup sehat sehingga setiap orang dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal.
Di dalam pembangunan kesehatan,
Indonesia memiliki masalah kesehatan yang cukup kompleks, di buktikan dengan
meningkatnya kasus penyakit menular, banyaknya jumlah kematian yang terjadi,
serta meningkatnya penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi. Hal ini
merupakan masalah kesehatan yang sangat membutuhkan perhatian dan pembenahan.
Namun dalam pembenahan dan pembangunan kesehatan tidaklah mudah karena di persulit
dengan adanya keterbatasan sumber daya manusia baik dalam aspek kualitas maupun
kuantitas. Dengan adanya Puskesmas sebagai upaya keperawatan kesehatan
masyarakat yang terdiri dari upaya wajib dan upaya pengembangan, di harapkan
pemberian pelayanan kesehatannya dapat mencegah dan memberantas penyakit
menular melalui upaya wajibnya yaitu P2M.
Pencegahan dan pengendalian Penyakit
Menular merupakan program pelayanan kesehatan untuk mencegah dan mengendalikan
penularan penyakit menular/infeksi (misalnya TB, DBD, kusta, dll). Tujuan dari
P2M ini yaitu untuk menurunkan angka kesakitan, kamatian dan kecacatan akibat
penyakit menular. Prioritas penyakit menular yang akan di tanggulangi adalah
malaria, demam berdarah dangue, diare, polio, filaria, kusta, tuberkolosis
paru, HIV/AIDS, pneumonia dan penyakit-penyakit yang dapat di cegah dengan
imunisasi. Uraian tugas umum untuk koordinasi unit pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular yaitu menyusun perencanaan dan evaluasi kegiatan di unit P2M,
mengkoordinir dan berperan aktif terhadap kegiatan di unitnya, dan ikut serta
aktif mencegah dan mengawasi terjadinya peningkatan kasus penyakit menular
serta menindak lanjuti terjadinya KLB.
Adapun kegiatan pokok dari P2M terdiri dari pencegahan dan
penanggulangan faktor resiko, peningkatan imunisasi, penemuan dan tatalaksana
penderita, peningkatan surveilens epidemiologi dan penanggulangan wabah serta
peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan
pemberantasan penyakit.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Jelaskan
tentang surveilens epidemiologi dalam P2M
2.
Apa
yang di maksud dengan SKD KLB dalam P2M?
3.
Apa
yang di maksud dengan vektor kontrol?
4.
Jelaskan
mengenai investigasi wabah
1.3
TUJUAN
1. Agar mengetahui surveilens epidemiologi dalam
P2M
2. Untuk mengetahui bagaimana SKD KLB dalam
P2M
3. Memahami apa yang di maksud dengan vektor
kontrol
4. Mengetahui bagaimana investigasi wabah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SURVEILENS EPIDEMIOLOGI DALAM P2M
Ruang Lingkup Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit:
- Imunisasi
- Surveilans epidemiologi
- TBC
- Malaria
- Kusta
- DBD
- Penanggulangan KLB
- ISPA/Pnemonia
- Filariasis
- AFP
- Diare
- Rabies/Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR)
- Kesehatan Matra (Haji dan P. Bencana)
- Frambusia
- Leptospirosis
- HIV/AIDS
- Penyakit tidak menular (DM, hipertensi, dll).
- Imunisasi
- Surveilans epidemiologi
- TBC
- Malaria
- Kusta
- DBD
- Penanggulangan KLB
- ISPA/Pnemonia
- Filariasis
- AFP
- Diare
- Rabies/Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR)
- Kesehatan Matra (Haji dan P. Bencana)
- Frambusia
- Leptospirosis
- HIV/AIDS
- Penyakit tidak menular (DM, hipertensi, dll).
Definisi
epidemiologi menurut WHO (1989) adalah ilmu yang mempelajari distribusi dan
determinan dari peristiwa kesehatan dan peristiwa yang berkaitan dengan
kesehatan yang menimpa sekelompok masyarakat dan menerapkan ilmu tersebut untuk
memecahkan masalah-masalah kesehatan.
Pengertian Surveilans (WHO) adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan aalisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tinakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
Pengertian Surveilans (WHO) adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan aalisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tinakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
Tujuan surveilans:
1. Menentukan data dasar/besarnya masalah kesehatan
2. Memantau atau mengetahui kecenderungan penyakit
3. Mengidentifikasi adanya kejadian luar biasa
4. Membuat rencana, pemantauan, penilaian atau evaluasi program kesehatan.
Subsistem surveilans epideiologi kesehatan:
1. Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular
2. Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
3. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku
4. Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan
5. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentan Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
Jenis-jenis penyakit yang diamati di Puskesmas (STP):
1. Menentukan data dasar/besarnya masalah kesehatan
2. Memantau atau mengetahui kecenderungan penyakit
3. Mengidentifikasi adanya kejadian luar biasa
4. Membuat rencana, pemantauan, penilaian atau evaluasi program kesehatan.
Subsistem surveilans epideiologi kesehatan:
1. Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular
2. Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
3. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku
4. Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan
5. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentan Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
Jenis-jenis penyakit yang diamati di Puskesmas (STP):
1. Kolera
2. Diare
3. Diare Berdarah
4. Tifus perut klinis
5. TB Paru BTA +
6. TB Paru Klinis
7. Kusta PB
8. Kusta MB
9. Campak
10. Difteri
11. Batuk Rejan
12. Tetanus
13. Hepatitis Klinis
14. Malaria Klinis
15. Malaria Vivax
16. Malaria Falsifarum
17. Malaria mix
18. Demam Berdarah Dengue
19. Demam Dengue
20. Pnemonia
21. Sifilis
22. Gonore
23. Frambusia
24. Filariasis
25. Influenza
Menurut Amiruddin (2013) unsur-unsur surveilens
epidemiologi untuk penyakit menular, yaitu:
1. Pencatatan kematian
pencatatan
kematian yang di lakukan di tingkat desa di laporkan ke kantor kelurahan lalu
ke kantor kecamatan dan Puskesmas, sementara itu dari kantor kecamatan,
pencatatan tersebut di kirim ke kantor kabupaten/kota. Unsur ini akan
bermanfaat bila pada pencatatan kematian cepat di olah dan hasilnya segera di
beritahukan kepada yang berkepentingan.
2. Laporan penyakit unsur ini penting untuk mengetahui
distribusi penyaakit menurut waktu, apakah musiman, cylic atau secular. Dengan
demikian dapat di ketahui pula ukuran endemis suatu penyakit. Diagnosis
penyakit dan waktu mulai timbulnya penyakit merupakan hal yang penting di
catat.
3. Laporan wabah
Laporan
wabah dengan distribusi penyakit menurut waktu, tempat dan orang penting
artinya untuk menganalisis dan menginterpretasikan data dalam rangka mengetahui
sumber dan penyebab wabah tersebut.
4. Ppemeriksaan Laboratorium merupakan suatu srana yang penting
untuk mengetahui kuman penyebab penyakit menular dan pemeriksaan tertentu untuk
penyakit-penyakit lainnya, misalnya kadar gula darah untuk penyakit diabetes
mellitus.
5. Penyakit khusus penyelidikan kasusu untuk penyakit
khusus di maksudkan untuk mengetahui riwayat ilmiah penyakit yang belum di
ketahui, terjadi pada seseorang atau lebih individu.
6. Penyelidikan wabah bila terjadi lonjakan frekuensi
penyakit yang melebihi frekuensi biasa, perlu di adakan penyelidikan wabah
dengan analisis data sekunder sehingga dapat di ketahui terjadinya letusan
tersebut. Dalam hal ini di perlukan diagnosis labiratoris di samping
penyelidikan epidemic di lapangan.
7. Survei
survei ialah suatu cara penelitian
epidemiologi untuk mengethui prevalens penyakit. Dengan ukuran ini dapat di
ketahui luas masalah penyakit tersebut. Setelah survei pertama di lakukan,
berikan pengobatan.
2.2 SKD KLB DALAM P2M
a. Pengertian
KLB :
(1) Sistem
Kewaspadaan Dini (SKD) KLB adalah kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi
KLB beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menerapkan
teknologi surveilans epidemiologi dan dimanfaatkan untuk meningkatkan sikap
tanggap kesiapsiagaan, upaya-upaya dan tindakan penanggulangan KLB yangcepat
dan tepat.
(2)
Peringatan kewaspadaan dini KLB adalah pemberian informasi adanya ancaman KLB
pada suatu daerah dalam periode waktu tertentu.
(3) Deteksi
dini KLB adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB dengan cara
melakukan intensifikasi pemantauan secara terus menerus dan sistematis terhadap
perkembangan penyakit berpotensi KLB dan perubahan kondisi rentan KLB agar
dapat mengetahui secara dini terjadinya KLB
(4) Kondisi
rentan KLB adalah kondisi masyarakat, lingkungan, perilaku dan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan yang merupakan faktor risiko terjadinya KLB.
KLB
adalah keadaan yang melebihi keadaan biasa, pada satu/sekelompok masyarakat
tertentu (Mac Mahon and Pugh, 1970; Last, 1983, Benenson, 1990)
KLB
adalah peningkatan frekuensi penderita penyakit, pada populasi tertentu, pada
tempat dan musim atau tahun yang sama (Last,1983).
Kejadian Luar
Biasa atau KLB adalah timbulnya
suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok
penduduk dalam kurun waktu tertentu. Kriteria KLB (kriteria kerja) antara lain:
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang
sebelumnya tidak ada/tidak di kenal di suatu
daerah.
2. Adanya peningkatan kejadian
kesakitan/kematian yang dua kali atau lebih di bandingkan dengan jumlah kesakitan/kematian
yang biasa terjadi pada kurun waktu sebelumnya (jam,hari,minggu) tergantung
dari jenis penyakitnya.
3. Adanya peningkatan kejadian kesakitan
terus menerus selama 3 kurun waktu (jam,hari,minggu) berturut-turut menurut
jenis penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan
menunjukan kenaikkan dua kali lipat atau lebih di bandingkan dengan angka
rata-rata perbulan dari tahun sebelumnya.
5. Angka rata-rata perbulan selama satu
tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih di bandingkan dengan angka
rata-rata perbulan dari tahun sebelumnya.
6. Case Fatality Rate (CFR) dari suatu
penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukan kenaikkan 50% atau lebih,
di banding dengan CFR dari periode sebelumnya.
7. Proporsional Rate (PR) penderita baru
dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih periode
yang sama dalam kurun waktu/tahun sebelumnya.
8. Beberapa penyakit khusus: kolera,
DBD/DSS:
a.
Setiap
dari peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah endemis)
b.
Terdapat
satu atau lebih penderita baru di mana pada periode 4 minggu sebelumnya daerah
tersebut di nyatakan bebas dari penyakit yang bersangkutan.
9. Beberapa penyakit yang dialami 1 atau
lebih penderita: keracunan makanan,
keracunan pestisida.
keracunan pestisida.
Penyelidikan
epidemiologi KLB yaitu semua kegiatan yang dilakukan untuk memastikan adanya
penderita penyakit yang dapat menimbulkan KLB, mengenai sifat-sifat penyebabnya
dan faktor-fator yang mempengaruhi terjadinya dan penyebarluasannya.
Tujuan Penyelidikan Epidemiologi KLB adalah untuk menentukan jenis penyakit yang menimbulkan KLB dan cara-cara mencegah meluasnya daerah/populasi yang terkena dan cara-cara pemberantasannya.
Tujuan Penyelidikan Epidemiologi KLB adalah untuk menentukan jenis penyakit yang menimbulkan KLB dan cara-cara mencegah meluasnya daerah/populasi yang terkena dan cara-cara pemberantasannya.
Sistem Kewaspadaan Dini (Early Warning Alert) dirintis dan
dikembangkan sejak 2007 oleh Departemen Kesehatan RI yang diadopsi dari Badan
Kesehatan Dunia (WHO) yang dimodifikasi sesuai dengan karakter Indonesia dalam
upaya mewujudkan tindakan atau respon cepat terhadap adanya potensi atau
munculnya KLB. Sistem ini bekerja dengan
cara memantau perkembangan tren suatu penyakit menular potensial wabah/KLB dari
waktu ke waktu dalam periode mingguan.
Sistim
Kewaspadaan Dini dilaksanakan pertama kali di Provinsi Lampung dan Bali.
Selanjutnya diikuti Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah. Targetnya pada tahun 2014 seluruh provinsi di
Indonesia sudah melaksanakan Sistim Kewaspadaan Dini dan Respon.
b. Cara Kerja Sistem Kewaspadaan Dini
Sistem didasarkan pada pelaporan kasus di
lapangan. Para petugas kesehatan seperti
bidan, mantri dan puskesmas pembantu (pustu) melakukan pelaporan kepada petugas
surveilans di Puskesmas melalui SMS/HT. Petugas surveilans puskesmas akan
mengirimkan data yang diterima ke kabupaten juga melalui SMS. Data akan dientri
dan dianalisa oleh kabupaten, lalu dikirim melalui e-mail ke ke provinsi dan
pusat dengan menggunakan software khusus yang dapat menghasilkan peringatan
dini (sinyal kewaspadaan) menurut tempat, waktu dan jenis penyakitnya. Bila
dalam analisis muncul alert atau signal maka kabupaten segera lakukan respons
(verifikasi data, penyelidikan epidemiologi, konfirmasi laboratorium dan
penanggulangan) sesuai dengan situasi dan kondisi. Respons juga dapat dilakukan
secara bersama dengan puskesmas. Penyakit dan syndrome yang dilaporkan dalam
system ini adalah :
·
Diare
Akut
·
Malaria
Konfirmasi
·
Tersangka
Demam Dengue
·
Pneumonia
·
Diare
Berdarah
·
Tersangka
Demam Tifoid
·
Jaundice
Akut
·
Tersangka
DBD
·
Tersangka
Flu Burung pada Manusia
·
Tersangka
Campak
·
Tersangka
Difteri
·
AFP
(Lumpuh Layuh Mendadak)
·
Kasus
Gigitan Hewan Penular Rabies
·
Tersangka
Antrax
·
Demam
yg tidak diketahui sebabnya
·
Tersangka
Kolera
·
Kluster
Penyakit yg tidak diketahui
·
Tersangka
Meningitis/Encephalitis
·
Tersangka
Tetanus Neaonatorum
·
Tersangka
Tetanus
·
Tersangka
Pertussis
·
ILI
Semua
kasus yang dilaporkan dalam Sistim Kewaspadaan Dini adalah kasus baru dengan
kriteria : Pasien yang datang berobat dengan diagnosis penyakit yang tidak
sama dengan diagnose penyakit pada kunjungan sebelumnya atau pasien datang
berobat dengan diagnosis penyakit yang sama dengan kunjungan sebelumnya tetapi
sudah pernah sembuh.
Penanggulangan
KLB/wabah penyakit menular
diatur dalam UU No.4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular, Permenkes no
949 tahun 2004 tentang pedoman penyelenggaraan SKD KLB dan PP No. 25 tahun 2000
tentang kewenangan pemerintah pusat dan provinsi sebagai daerah otonom yang
berpengaruh terhadap penyelenggaran penggulangan KLB/wabah serta peraturan
terkait lainnya yang berhubungan dengan SKD KLB.
c. Dampak KLB
KLB
penyakit dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kesakitan dan kematian yang
besar sehingga membutuhkan perhatian dan penanganan oleh semua pihak yang
terkait. Kejadian-kejadian KLB perlu dideteksi secara dini dan diikuti tindakan
yang cepat dan tepat, perlu diidentifikasi ancaman KLB agar dapat dilakukan
peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB/wabah.
d. Ruang Lingkup
Kegiatan SKD
KLB meliputi kajian epidemiologi secara terus menerus dan sistematis terhadap
penyakit berpotensi KLB dan kondisi rentan KLB, peringatan kewaspadaan dini KLB
dan peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan sarana dan prasarana kesehatan
pemerintah, swasta dan masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya KLB/wabah.
e. Tujuan penyelenggaraan Kegatan SKD KLB
Terselenggaranya
kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB, seperti
(1) Teridentifikasinya adanya ancaman KLB; (2)Terselenggaranya peringatan
kewaspadaan dini KLB; (3)Terselenggaranya kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan
terjadinya KLB; (4) Terdeteksinya secara dini adanya kondisi rentan KLB; (4)
Terdeteksinya secara dini adanya KLB; (5) Terselenggaranya penyelidikan dugaan
KLB.
f. Penyelenggaraan SKD KLB
Dalam
penyelenggaraan SKD KLB dapat dilakukan dengan : (1) Pengorganisasian, Sesuai
dengan peran dan fungsinya maka setiap unit pelayanan kesehatan, Dikes
kab./kota, provinsi dan Depkes RI wajib menyelenggarakan SKD KLB dengan
membentuk unit pelaksana yang bersifatfungsional atau struktural; (2) Sasaran,
sasaran SKD KLB meliputi penmyakit berpotensi KLB dan kondisi rentan KLB; (3)
Kegiatan SKD KLB.
Secara umum kegiatan SKD KLB meliputi :
1.
Kajian Epidemiologi
Untuk mengetahui adanya ancaman KLB, maka dilakukan
kajian secara terus menerus dan sistematis terhadap berbagai jenis penyakit
berpotensi KLB dengan menggunakan kajian. Kajian tersebut diantaranya adalah :
Data surveilans epidemiologi penyakit berpotensi KLB; Kerentanan masyarakat spt
status gizi yang buruk, imunisasi yang tdk lengkap, personal hygiene yang buruk
dll; Kerentanan lingkungan spt sanitasi dan lingkungan yang jelek; Kerentanan
pelayanan kesehatan spt sumberdaya, sarana dan prasarana yang rendah atau
kurang memadai; Ancaman penyebaran penyakitberpotensi KLB dari daerah lain;
Sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi.Sumber data surveilans
epidemiologi penyakit adalah :Laporan KLB/wabah dan hasil penyelidikan KLB,
Data epidemiologi KLB dan upaya penanggulangannya, Surveilans terpadu penyakit
berbasis KLB, Sistem peringatan dini KLB di rumah sakit.Sumber data lain dalam
jejaring surveilans epidemiologi adalah :Data surveilans terpadu penyakit, Data
surveilans khusus penyakit berpotensi KLB, Data cakupan program. Data cakupan
program tersebut diantaranya adalah Datalingkungan pemukiman,
dataperilaku masyarakat, data pertanian, data meteriologi dan fisika;Informasi
masyarakat sebagai laporan kewaspadaan dini; Data terkait lainnya.
2.
Peringatan Kewaspadaan
Peringatan kewaspadaan dini KLB dan atau terjadinya
peningkatan KLB pada daerah tertentu dibuat untuk jangka pendek (periode 3 – 6
bulan yang akan datang) dan disampaikan kepada semua unitterkait di Dikes
kab./kota, provinsi dan Depkes RI, sektor terkait dan masyarakat sehingga
mendorong peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB di unit
pelayanan kesehatan dan program terkait serta peningkatan kewaspadaan
masyarakat perorangan dan kelompok.Peringatan kewaspadaan dini KLB dapat juga
dilakukan terhadap penyakit berpotensi KLB dalam jangka panjang (periode 5
tahun yangakan datang) agarterjadi kesiapsiagaan yang lebih baik serta dapat
dijadikan acuan perumusan perencanaan strategis program penanggulangan KLB. Suatu
wilayah tertentu dinyatakan KLB apabila memenuhi kriteria sbb :
(a) Angka kesakitan dan atau angka kematian di suatu
wilayah (Desa/Kelurahan, Kecamatan) menunjukkan kenaikan yang mencolok
(bermakna) selama 3 kali masa observasi berturut-turut (Harian atau Mingguan)
(b) Jumlah penderita dan atau jumlah kematian di suatu
wilayah (Desa/Kelurahan, Kecamatan) menunjukkan 2 kali atau lebih dalam periode
waktu tertentu (Harian, MIngguan, Bulanan) dibandingkan dengan rata-rata dalam
satu tahun terakhir
(c) Peningkatan CFR (case fatality rate) pada
suatu wilayah (Desa/Kelurahan, Kecamatan) dalam waktu satu bulan dibandingkan
CFR bulan lalu
(d) Peningkatan jumlah kesakitan atau kematian dalam
periode waktu (Mingguan, Bulanan) di suatu wilayah (Desa/Kelurahan, Kecamatan)
dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun yang lalu.
3.
Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan
terhadap KLB
Kewaspadaan dan peningkatan kesiapsiagaan terhadap KLB
meliputi peningkatan kegiatan surveilans untuk deteksi dini kondisi rentan KLB,
peningkatan kegiatan surveilans untuk deteksi dini KLB, penyelidikan
epidemiologi adanya dugaan KLB, kesiapsiagaan menghadapi KLB dan mendorong
segera dilaksanakan tindakan penggulangan KLB.
4.
Deteksi dini kondisi rentan KLB
Deteksi dini kondisi rentan KLB merupakan kewaspadaan
terhadap timbulnya kerentanan masyarakat, kerentanan lingkungan, perilaku dan
kerentanan pelayanan kesehatan terhadap KLB dengan menerapkan cara-cara
surveilans epidemiologi atau PWS kondisi rentan. Dalam penerapan cara
surveilans epidemiologi terhadap KLB, dapat dilakukan dengan : (1)
Identifikasi kondisi rentan KLB, (2) Mengidentifikasi secara
terus-menerus perubahan kondisi lingkungan, kualitas dan kuantitas pelayanan
kesehatan, kondisi status kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan KLB
di daerah, (3) Pemantauan wilayah setempat kondisi rentan KLB. Setiap
sarana pelayanan kesehatan merekam data perubahan kondisi rentan KLBmenurut
desa/kelurahan atau lokasi tertentu lainnya, menyusun tabel dan grafik PWS
kondisi rentan KLB. Setiap kondisi rentan KLB dianalisis terus-menerus
dan secara sistematis untuk mengetahui secara dini adanya ancaman KLB, (4)
Penyelidikan dugaan kondisi rentan KLB. Penyelidikan tersebut dapat dilakukan :
Di Sarkes secara aktif mengumpulkan informasi kondisi rentan KLB dari
berbagai sumber termasuk laporan perubahan kondisi rentan oleh
masyarakat,perorangan atau kelompok; Di Sarkes petugas meneliti dan mengkaji
data kondisi rentan KLB, data kondisi kesehatan lingkungan dan perilaku
masyarakat, status kesehatan masyarakat,status pelayanan kesehatan; Petugas
kesehatan mewawancarai pihak-pihak terkait yang patut diduga mengetahui adanya
perubahan kondisi rentan KLB; Mengunjungi daerah yangdicurigai terdapat
perubahan kondisi rentan.
5.
Deteksi dini KLB
Deteksi dini KLB merupakan kewaspadaan terhadap
timbulnya KLB dengan mengidentifikasi kasus berpotensi KLB, pemantauan wilayah
setempat terhadap penyakit-penyakit berpotensi KLB dan penyelidikan dugaan KLB
: (1) Identifikasi kasus berpotensi KLB. Setiap kasus berpotensi KLB yang
datang ke UPK diwawancarai kemungkinan adanya penderita lain disekitar tempat
tinggal kemudian dilanjutkan dengan penyelidikan kasus; (2) PWS penyakit
berpotensi KLB. Setiap UPK melakukan analisis adanya dugaan peningkatan
penyakit dan faktor risiko yang berpotensi KLB diikuti penyelidikan kasus; (3)
Penyelidikan dugaan KLB. Penyelidikan dugaan KLB dilakukan dengan cara :
Di UPK setiap petugas menanyakan kepada setiap pengunjung UPK tentang
kemungkinan adanya peningkatansejumlah penderita yang diduga KLB pada
lokasi tertentu; Di UPK setiap petugas meneliti register rawat jalan dan rawat
inap khususnya yang berkaitan dengan alamat penderita, umur dan jensis kelamin
atau karakteristiklain; Petugas kesehatan mewawancarai kepala desa atau pihak
yang terkait yang mengetahui keadaan masyarakat tentang adanya peningkatan
kasus yang diduga KLB; Membuka pos pelayanan di lokasi yangdiduga terjadi KLB;
Mengunjungi rumah-rumah penderita yang dicurigai memunculkan KLB. Deteksi dini KLB dapat dilakukan melalui :
pelaporan kewaspadaan KLB oleh masyarakat, Perorangan dan organisasi yang wajib
membuat laporan kewaspadaan KLB antara lain : Orang yang mengetahui adanya
penderita atau tersangka penderita penyakit berpotensi KLB; Petugas kesehatan
yang memeriksa penderita yangberpotensi KLB; Kepala instansi yangterkait
seperti kepala pelabuhan, kepala stasiun kereta api, kepala bandara udara dll
serta UPK lainnya; Nahkoda kapal, pilot dan sopir.
6.
Kesiapsiagaan menghadapi KLB
Kesiapsiagaan menghadapi KLB dilakukan terhadap SDM,
sistem konsultasi dan referensi, sarana penunjang, laboratorium dan anggaran
biaya, strategi dan tim penanggulangan KLB serta jejaring kerja tim
penanggulangan KLB kabupaten/kota, provinsi dan pusat.
7.
Tindakan Penanggulangan KLB yang Cepat dan Tepat
Setiap daerah menetapkan mekanisme agar setiap
kejadian KLB dapat terdeteksi dini dan dilakukan tindakan penanggulangan dengan
cepat dan tepat. Tindakan penanggulangan KLB yang cepat dan tepat dilakukan
dengan : Advokasi dan Asistensi Penyelenggaran SKD KLB Advokasi
dan asistensi tujuannya agar SKD KLB berjalan secara terus menerus dengan
dukungan daripihak yang terkait; Pengembangan SKD KLB Darurat. Untuk
menghadapi ancaman terjadinya KLB penyakit tertentu yang sangat serius dapat
dikembanghkan dan atau ditingkatkan SKD KLB penyakittertentu dalam periode
waktu terbatas dan wilayah terbatas.
8.
Peran Unit SKD KLB dan Mekanisme Kerja
Masing masing unit yang ada dijajaran kesehatan dapat
berperan sebagai berikut : (1)Peran Dinas Kesehatan Provinsi : Kajian
Epidemiologi Ancaman KLB; Peringatan Kewaspadaan Dini KLB; Peningkatan
Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Terhadap KLB; Advokasi dan Asistensi
Penyelenggaraan SKD KLB,(2) Peran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota: Kajian
Epidemiologi Ancaman KLB, Peringatan Kewaspadaan Dini KLB, Peningkatan
Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Terhadap KLB, Advokasi dan Asistensi
Penyelenggaraan SKD KLB, Pengembangan SKD KLB Darurat; (3) Peran Puskesmas :
Kajian Epidemiologi Ancaman KLB, Peringatan Kewaspadaan Dini KLB, Peningkatan
Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Terhadap KLB, (4) Peran Masyarakat (perorangan,
kelompok dan masyarakat): Peningkatan kegiatan pemantauan perubahan kondisi
rentan; Peningkatan kegiatan pemantauan perkembangan penyakit dengan
melapor kepada puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota sebagai laporan
kewaspadan dini; Melaksanakan penyuluhan serta mendorong kewaspadaan KLB di
tengah masyarakat; Melakukan identifikasi penderita, pengenalan tatalaksana
kasus dan rujukan serta upaya pencegehan dan pemberantasan tingkat awal
9.
Indikator Kinerja
Indikator kinerja SKD KLB adalah
(1) Kajian dan
peringatan kewaspadaan dini KLB secara teratur setidak-tidanya setiap bulan
dilaksanakan oleh Dikes Kabupaten/Kota, Provinsi dan Depkes RI
(2) Terselenggaranya deteksi dini KLB penyakit
berpotensi KLB prioritas di puskesmas, Rumah Sakit dan Laboratorium
(3) Kegiatan penyelidikan dan penanggulangan KLB
yangcepat dan tepat terlaksana kurang dari 24 jam sejak teridentifikasi adanya
KLB atau dugaan KLB
(4) Tidak terjadi KLB yang besar dan berkepanjangan.
2.3. VEKTOR KONTROL
a. Pengertian vektor
Vektor adalah arthropoda yang dapat
menimbulkan dan menularkan suatu infectious agent dari sumber infeksi
kepada induk semang yang rentan. Bagi dunia kesehatan masyarakat, binatang yang
termasuk kelompok vektor yang dapat merugikan kehidupan manusia karena
disamping mengganggu secara langsung juga sebagai perantara penularan
penyakit, seperti yang sudah diartikan di atas (Nurmaini, 2001).
Menurut WHO (1993) vektor adalah seekor binatang yang membawa
bibit penyakit dari seekor binatang atau
seorang manusia kepada binatang lainnya atau manusia lainnya. Chandra (2006) menyebutkan
bahwa vektor adalah organisme hidup yang dapat menularkan agen penyakit dari
suatu hewan ke hewan lain atau manusia. Arthropoda
merupakan vektor penting dalam penularan penyakit parasit dan virus yang
spesifik.
Vektor hanya terdiri atas arthropoda, sedangkan
tikus, anjing, dan kucing bertindak sebagai reservoar (Chandra, 2006).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2011) menyebutkan bahwa tikus bertindak sebagai reservoar untuk
penyakit seperti salmonelosis, demam gigitan tikus, trichinosis, dan demam
berdarah Korea, sedangkan vektornya adalah pinjal, kutu, caplak, dan tungau
yang merupakan arthropoda. Sumber lain menyebutkan bahwa tikus hanya
sebagai binatang pengganggu (Nurmaini, 2001).
Ada dua jenis vektor yaitu vektor
biologis dan vektor mekanis. Vektor disebut vektor biologis jika sebagian
siklus hidup parasitnya terjadi dalam tubuh vektor tersebut. Vektor disebut sebagai vektor mekanis jika sebagian siklus hidup
parasitnya tidak terjadi dalam tubuh vektor tersebut
(Natadisastra dan Agoes, 2005). Contohnya lalat sebagai vektor mekanis dalam penularan penyakit diare, trakoma, keracunan makanan, dan tifoid, sedangkan nyamuk Anopheles sebagai
vektor biologis dalam penularan penyakit
malaria (Chandra, 2006).
b. Klasifikasi Vektor
Arthropoda (arthro-pous) adalah filum dari kerajaan binatang yang termasuk
di dalamnya kelas Insecta, kelas Arachnida serta kelas Crustacea,
yang kebanyakan speciesnya penting secara medis, sebagai parasit, atau vektor organismeyang
dapat menularkan penyakit pada manusia. Klasifikasi arthropoda sebagai vektor penyakit secara
rinci sebagai berikut (Chandra, 2006):
1. Kelas Insecta
- Mosquito (Nyamuk)
1. Anophelesne
2. Culicines
3. Aedes
- Flies (Lalat)
1. Houseflies
(lalat rumah, Musca domestica)
2. Sandflies (lalat pasir, genus Phlebotomus)
3. Tsetse
flies (lalat tsetse, genus Glossina)
4. Blackflies
(lalat hitam, genus Simulium)
- Human Lice (Tuma)
1.
Head and body lice (tuma kepala atau Pediculus humanus var
capitis dan tuma
badan atau
Pediculus humanus var corporis)
2. Crab lice
(tuma kemaluan atau Phthirus pubis)
- Fleas (Pinjal)
1. Rat fleas
(pinjal tikus).
Beberapa pinjal tikus
yang penting untuk bidang media adalah sebagai berikut:
1. Rat fleas (oriental)
- Xenopsylla chepis
- Xenopsylla astila
- Xenopsylla braziliensis
2. Rat fleas (temperate
zone) yaitu Nospsylla fasciatus
2. Human fleas yaitu Pulex
irritans
3. Dog and cat
fleas yaitu Ctenocephalus felis
4. Reduviid
bugs (kissing bugs, Penggigit Muka)
2. Kelas Arachnida
1. Tick (Sengkenit)
- Hard Ticks (sengkenit keras, famili Ixodidae)
- Soft Ticks
(sengkenit keras, famili Argasidae).
2. Mites (Chiggers, famili Trombidiidae)
- Leptotrombidium
dan Trombiculid mites (tungau musim panen, tungau merah)
- Itch mites (tungau kudis, scabies,
famili Sascoptidae)
3. Kelas Crustacae yaitu Cyclops
Beberapa jenis tikus (rodensia) pembawa vektor penyakit adalah Rattus
norvegicus, Rattus rattus diardi, Mus musculus. Rattus norvegicus (tikus
got) berperilaku menggali lubang di tanah dan hidup dilibang tersebut.
Sebaliknya Rattus rattus diardii (tikus rumah) tidak tinggal di tanah
tetapi disemak-semak dan atau diatap bangunan. Bantalan telapak kaki jenis
tikus ini disesuaikan untuk kekuatan menarik dan memegang yang sangat baik. Hal
ini karena pada bantalan telapak kaki terdapat guratan-guratan beralur, sedang
pada rodensia penggali bantalan telapak kakinya halus. Mus musculus (mencit)
selalu berada di dalam bangunan, sarangnya bisa ditemui di dalam dinding,
lapisan atap (eternit), kotak penyimpanan atau laci (Depkes RI, 2011).
c. Peranan Vektor
Penularan penyakit pada manusia melalui vektor penyakit berupa serangga dikenal
sebagai arthropod-borne diseases atau sering juga disebut sebagai vektor-borne
diseases. Ada 3 jenis cara transmisi arthropod-bome diseases, yaitu
(Chandra, 2006):
1. Kontak Langsung
Arthropoda secara langsung memindahkan penyakit atau infestasi dari satu
orang ke orang lain melalui kontak langsung. Contohnya adalah scabies dan
pediculus (Chandra, 2006).
2. Transmisi Secara Mekanik
Agen penyakit ditularkan secara mekanik oleh arthropoda, seperti penularan
penyakit diare, typhoid, keracunan makanan dan trachoma oleh lalat.
Secara karakteristik arthropoda sebagai vektor mekanik membawa agen penyakit
dari manusia berupa tinja, darah, ulkus superfisial, atau eksudat. Kontaminasi
bisa hanya pada permukaan tubuh arthropoda tapi juga bisa dicerna dan kemudian
dimuntahkan atau dikeluarkan melalui ekskreta (Chandra, 2006).
Agen penyakit yang paling banyak ditularkan melalui arthropoda adalah
enteric bacteria yang ditularkan oleh lalat rumah. diantaranya adalah
Salmonella typhosa, species lain dari salmonella, Escherichia coli, dan Shigella
dysentry yang paling sering ditemui dan paling penting. Lalat rumah dapat
merupakan vektor dari agen penyakit tuberculosis, anthrax, tularemia, dan
brucellosis (Chandra, 2006).
3. Transmisi Secara Biologi
Bila agen penyakit multiflikasi atau mengalami beberapa penularan
perkembangan dengan atau tanpa multiflikasi di dalam tubuh arthropoda, ini
desebut transmisi biologis dikenal ada tiga cara, yaitu:
- Propagative
Bila agen penyakit tidak mengalami perubahan siklus, tetapi multiflikasi di
dalam tubuh vektor. Contohnya Plague bacilli pada rat fleas.
- Cyclo-propagative
Agen penyakit mengalami perubahan siklus dan multiflikasi di dalam tubuh
arthropoda. Contohnya parasit malaria pada nyamuk Anopheles.
- Cyclo-developmental
Bila agen penyakit mengalami perubahan siklus, tetapi tidak mengalami
multiflikasi di dalam tubuh arthropoda. Contohnya parasit filaria pada nyamuk Culex
dan cacing pita pada cyclops.
Beberapa istilah dalam proses transmisi atrhropod-borne disease sebagai
berikut (Chandra, 2006):
1. Inokulasi (inoculation)
Masuknya agen penyakit atau bibit yang berasal dari arthropoda kedalam
tubuh manusia melalui gigitan pada kulit atau deposit pada membrana mucosa
disebut sebagai inokulasi (Chandra, 2006).
2. Infestasi (infestation)
Masuknya arthropoda pada permukaan tubuh manusia kemudian berkembang biak
disebut sebagai infestasi, contohnya scabies (Chandra, 2006).
3. Extrinsic Incubation Period dan Intrinsic Incubation
Period
Waktu yang diperlukan untuk perkembangan agen penyakit dalam tubuh vektor
disebut sebagai masa inkubasi ektrinsik, sedangkan waktu yang diperlukan untuk
perkembangan agen penyakit dalam tubuh manusia disebut sebagai masa inkubasi
intrinsik. Contohnya parasit malaria dalam tubuh nyamuk anopheles berkisar
antara 10-14 hari tergantung dengan temperatur lingkungan. Masa inkubasi
intrinsik dalam tubuh manusia berkisar antara 12-30 hari tergantung dengan
jenis plasmodium malaria (Chandra, 2006).
4. Definitive Host dan Intermediate Host
Apabila terjadi siklus seksual dalam tubuh vektor atau manusia maka vektor
atau manusia tersebut disebut sebagai host definitif, sedangkan apabila terjadi
siklus aseksual maka disebut sebagai host intermediet. Contohnya parasit
malaria mengalami siklus seksual dalam tubuh nyamuk dan siklus aseksual dalam
tubuh manusia, maka nyamuk Anopheles adalah host definitif dan manusia
adalah host intermediet (Chandra, 2006).
Vektor berperan dalam penularan arthropod-borne diseases.
Arthropod-borne diseases merupakan penyakit yang penting dan seringkali
bersifat endemis maupun epidemis dan menimbulkan bahaya kematian.
Arthropod-borne Diseases Berdasarkan Jenis Vektornya
No.
|
Vektor
|
Penyakit
|
1.
|
Nyamuk
|
Malaria, filariasis, demam kuning, demam berdarah dengue, encephalitis
|
2.
|
Lalat Rumah
|
Thypus abdominalis, salmonellosis, cholera, dysentry bacillary dan
amoeba, tuberculosis, penyakit sampar, tularemia, anthrax, frambusia,
conjunctivitis, demam undulans, trypanosomiasis, spirochaeta
|
3.
|
Lalat Pasir
|
Leishmaniasis, demam papataci, bartonellosis, demam phletobomus
|
4.
|
Lalat Tsetse
|
Trypanosomiasis, penyakit tidur
|
5.
|
Lalat Hitam
|
Oncheocerciasis
|
6.
|
Tuma Kepala, Tuma Badan, dan Tuma Kemaluan
|
Epidemic typhus, epidemic relapsing fever, demam parit
|
7.
|
Pinjal
|
Penyakit sampar, endemic thypus
|
8.
|
Kissing Bugs
|
Penyakit chagas
|
9.
|
Sengkenit
|
Rickettsia, penyakit virus seperti demam berdarah, penyakit bakteri dan
spirochaeta
|
10.
|
Tungau
|
Penyakit tsutsugamushi, demam remiten, lymphadenitis, splenomegali
|
11.
|
Cyclops
|
Penyakit akibat parasit Diplyllobothrium latum, Dracunculus
mendinensis, dan Gnasthostoma spinigerum
|
Sumber: Chandra, 2006
d. Pengendalian Vektor Penyakit
Pembasmian dalam pengendalian vektor tidak mungkin dapat dilakukan sampai
tuntas, yang mungkin dan dapat dilakukan adalah usaha mengurangi dan menurunkan
populasi ke suatu tingkat yang tidak membahayakan kehidupan manusia, tetapi
seharusnya dapat diusahakan agar segala kegiatan dalam rangka menurunkan
populasi vektor dapat mencapai hasil yang baik. Perlu diterapkan teknologi yang
sesuai, bahkan teknologi sederhanapun, yang penting didasarkan prinsip dan
konsep yang benar (Nurmaini, 2001).
Beberapa prinsip dalam pengendalian arthropoda secara khusus antara lain
(Chandra, 2006):
1. Pengendalian lingkungan
Pengendalian lingkungan merupakan cara terbaik untuk mengontrol arthropoda
karena hasilnya dapat bersifat permanen. Contohnya membersihkan tempat-tempat
hidup arthropoda (Chandra, 2006).
2. Pengendalian kimia
Pada pendekatan ini dilakukan penggunaan beberapa golongan insektisida,
seperti golongan organoklorin, golongan organofosfat dan golonagn karbamat,
tetapi penggunaan insektisida ini sering menimbulkan resistensi dan juga
kontaminasi pada lingkungan (Chandra, 2006). .
3. Pengendalian biologi
Pengendalian biologi ditujukan untuk mengurangi pencemaran lingkungan
akibat pemakaian insektisida yang berasal dari bahan-bahan beracun. Contoh
pendekatan ini adalah pemeliharaan ikan (Chandra, 2006).
4. Pengendalian genetik.
Dalam pendekatan ini, ada beberapa teknik yang dapat digunakan, diantaranya
steril technique, cytoplasmic incompatibility, dan choromosomal
translocation (Chandra, 2006).
Selain pengendalian terhadap arthropoda, perlu juga dilakukan pengendalian
terhadap tikus yang berperan sebagai pembawa vektor seperti pinjal, kutu,
caplak dan tungau. Berikut adalah pengendalian terhadap tikus (Depkes RI,
2011):
1. Penangkapan tikus dengan perangkap
Apabila terdapat tanda-tanda keberadaan tikus, pada sore hari dilakukan
pemasangan perangkap yang tempatnya masing-masing lokasi. Perangkap di dalam
bangunan rumah (core) diletakan dilantai pada lokasi dimana ditemukan
tanda-tanda keberadaan tikus, perangkap di lingkungan terbuka (inner bound)
perangkap diletakan di pinggir saluran air, taman, kolam, di dalam
semak-semak, sekitar Tempat Pembuangan Sampah (TPS), dan tumpukan barang bekas.
Untuk setiap ruangan dengan luas sampai dengan 10 m2 dipasang satu
perangkap. Setiap kelipatan 10 m2 ditambah satu perangkap (Depkes
RI, 2011).
2. Pemberantasan tikus dan mencit secara
kimiawi dengan umpan beracun
Pemberantasan tikus secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan umpan
beracun. Pengendalian tikus dengan menggunakan umpan beracun atau perangkap
berumpan racun mempunyai efek sementara, racun perut (rodentisia campuran,
antikoagulan kronik) adalah umpan beracun yang hanya dianjurkan digunakan
didaerah atau tempat yang tidak dapat dicapai oleh hewan domestik dan
anak-anak. Pengendalian tikus dengan umpan beracun sebaiknya sebagai pilihan
terakhir. Bila tidak teliti cara pengendalian ini sering menimbulkan bau yang
tidak sedap akibat bangkai tikus yang tidak segera ditemukan. Selain itu racun
tikus juga sangat berbahaya bagi manusia hewan/binatang lainnya. Ada dua macam
racun tikus yang beredar saat ini yaitu racun akut dan kronis. Racun akut harus
diberikan dalam dosis letal, karena jika tidak, maka tikus tidak mati dan tidak
mau lagi memakan umpan yang beracun sejenis, sedangkan apabila racun diberikan
dalam dosis letal maka tikus akan mati dalam setengah jam kemudian (Depkes RI,
2011).
Dewasa ini perkembangan teknologi pengendalian vektor penyakit semakin
berkembang. Nurhayati (2006) dalam artikel ilmiahnya melaporkan tentang prospek
teknik nuklir bagi pemberantasan vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).
Teknik nuklir sangat bermanfaat dalam pengendalian vektor penyakit Demam
Berdarah Dengue dengan Teknik Serangga Mandul (TSM) menggunakan cara irradiasi
nyamuk menggunakan radiasi gamma pada stadium pupa dengan dosis antara 65-70
Gy. Teknik pengendalian ini sangat spesifik, ramah lingkungan, tidak
menimbulkan resistensi dan hanya berpengaruh pada spesies target saja. Hal ini
sangat berlainan dengan pemberantasan vektor cara konvensional menggunakan
pestisida yang akan berefek terhadap pencemaran lingkungan, timbulnya
resistensi terhadap pestisida tertentu dan matinya hewan non target. TSM
merupakan teknik pilihan yang sangat efektif dan efisien baik secara tersendiri
maupun terintegrasi dengan teknik lain dan dalam pelaksanaannya TSM akan lebih
baik bila dikombinasikan dengan pengendalian lain dalam sistem pengendalian
vektor secara terpadu.
Selain perkembangan tersebut Innovative Vector Control Consortium
(IVCC) juga telah menciptakan inovasi baru untuk mengendalikan vector-borne
diseases, terutama bagi negara-negara berkembang dengan aksesibilitas yang
kurang terhadap media pengendalian vektor. Diciptakan formulasi baru untuk
insekstisida dan peralatan pengendalian vektor yang dapat diterapkan untuk
mencegah semua indoor vector-borne diseases (Hemingway et al., 2006).
2.4 INVESTIGASI WABAH
Wabah
adalah peningkatan kejadian kesakitan/kematian yang telah meluas secara cepat
baik jumlah kasus maupun luas daerah terjangkit.
Macam penyakit menular:
Penyakit karantina atau wabah (UU No.1 dan 2 tahun 1962): Kolera, Pes,
Demam kuning, Deman bolak-balik, Tifus Bercak Wabah, Poliomielitis dan Difteri).
Penyakit menular dengan potensi wabah tinggi: DBD, Diare, Campak, Pertusis
dan Rabies, Avian Influenza, HIV/AIDS.
Penyakit menular dengan potensi wabah rendah: malaria, meningitis,
frambusia, keracunan, influenza, ensefalitis, antraks, tetanus neonatorum
dan tifus abdominalis.
Penyakit menular yang tidak berpotensi wabah : kecacingan, lepra, TBC,
Sifilis, Gonore dan Filariasis.
Penyakit karantina atau wabah (UU No.1 dan 2 tahun 1962): Kolera, Pes,
Demam kuning, Deman bolak-balik, Tifus Bercak Wabah, Poliomielitis dan Difteri).
Penyakit menular dengan potensi wabah tinggi: DBD, Diare, Campak, Pertusis
dan Rabies, Avian Influenza, HIV/AIDS.
Penyakit menular dengan potensi wabah rendah: malaria, meningitis,
frambusia, keracunan, influenza, ensefalitis, antraks, tetanus neonatorum
dan tifus abdominalis.
Penyakit menular yang tidak berpotensi wabah : kecacingan, lepra, TBC,
Sifilis, Gonore dan Filariasis.
a. Langkah investigasi wabah
Langkah melakukan investigasi wabh
di lakukan dengan menggunakan pendekatan yang sistemik yang terdiri dari:
1. Persiapan
investigasi lapangan
Persiapan dapat di kelompokan dalam
3 kategori, yaitu:
- Investigasi: Pengetahuan ilmiah, perlengkapan dan alat
- Administrasi: Prosedur administrasi
termasuk izin dan pengaturan
- Konsultasi: Peran masing-masing petugas yang turun ke
lapangan
2.
Pemastian adanya wabah
- Membandingkan jumlah yang ada saat itu
dengan jumlah beberapa minggu atau bulan sebelumnya
- Menentukan apakah jumlah kasus yang
ada sudah melampaui jumlah yang di harapkan
- Sumber informasi bervariasi bergantung
pada situasinya
1. Catatan hasil surveilens
2. Catatan keluar dari rumah sakit,
statistic kematian, register, dll
3. Bila data local tidak ada, dapat di
gunakan rate dari wilayah di dekatnya atau data nasional.
4. Boleh juga di laksanakan survey di
masyarakat menentukan kondisi penyakit yang biasanya ada.
- Pseudo endemik (jumlah kasus yang di
laporkan belum tentu suatu wabah):
1. Perubahan cara pencatatan dan
laporan penderita
2. Adanya cara diagnosis baru
3. Bertambahnya kesadaran penduduk
untuk berobat
4. Adanya penyakit lain dengan gejala
yang serupa
5. Bertambahnya jumlah penduduk yang
rentan
3.
Pemastian diagnosis
Semua temuan secara klinik harus
dapat memastikan diagnosis wabah, yang harus di perhatikan yaitu:
- Untuk memastikan bahwa hal tersebut
telah di diagnosis dengan patut
- Untuk menyingkirkan kesalahan
laboratorium yang menyebabkan peningkatan kasus yang di laporkan
- Semua temuan klinis harus di simpulkan
dalam distribusi frekuensi
- Kunjungan terhadap satu atau dua penderita.
4.
Pembuatan definisi kasus
Pembuatan definisi kasus adalah
seperangkat kriteria untuk menentukan apakah seseorang harus dapat di
klasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis di batasi oleh waktu, tempat
dan orang. Penyelidikan sering membagi kasus menjadi pasti (compirmed), mungkin (probable), maragukan (possible), sensivitas dan spefsifitas.
5.
Penemuan dan penghitungan kasus
Informasi berikut ini di kumpulkan
dari setiap kasus:
- Data identifikasi (nama, alamat, nomor
telepon)
- Data demografi (umur, jenis kelamin,
ras dan pekerjaan)
- Data klinis
- Faktor resiko; yang harus di buat
khusus untuk tiap penyakit
- Informasi pelapor untuk mendapatkan
informasi tambahan atau member umpan balik
6.
Epidemiologi deskriptif
- Gambaran wabah berdasarkan waktu
- Gambaran wabah berdasarkan tempat
- Gambaran wabah berdasarkan ciri orang
7.
Pembuatan hipotesis
- Mempertimbangkan apa yang di ketahui
tentang penyakit itu
- Wawancara dengan beberapa penderita
- Mengumpulkan beberapa penderita
mencari kesamaan pemaparan
- Kunjungan rumah penderita
- Wawancara dengan petugas kesehatan
setempat
- Epidemiologi deskriptif
8.
Penilaian hipotesis
- Membandingan hepotesis dengan fakta
yang ada
- Dengan analisis epidemiologi untuk
mengkuantifikasikan hubungan dan menyelidiki peran kebetulan
- Uji kemaknaan statistik, kai kuadrat
9.
Perbaikan hipotesis dan penelitian tambahan
- Penelitian epidemiologi (epidemiologi
analitik)
- Penelitian laboratorium (pemeriksaan
serum) dan lingkungan (pemeriksaan tempat pembuangan tinja)
10.
Pengendalian dan pencegahan
Pada umunya upaya pengendalian di
arahkan pada mata rantai yang terlemah dalam penularan penyakit. Upaya
pengendalian mungkin di arahkan pada agen penyakit, sumbernya atau
reservoirnya.
11.
Penyampaian hasil penyelidikan
- Laporan harus jelas
- Kesimpulan dan saran harus dapat di
pertahankan secara ilmiah
- Laporan lisan harus di lengkapi dengan
laporan tertulis
- Merupakan cetak biru untuk mengambil
tindakan
- Merupakan catatan dari pekerjaan,
dokumen dari isu legal dan merupakan bahan rujukan apabila terjadi hal yang
sama di masa mendatang
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pencegahan penyakit
menular adalah upaya
yang ditujukan untuk mencegah, menunda, mengurangi, membasmi,
mengeliminasi penyakit menular yang tidak atau menyebabkan kecacatan dgn menerapkan
sebuah atau sejumlah intervensi yg telah dibuktikan efektif.
3.2 SA RAN
Dalam melakukan surveilans epidemiologi kita harus
lebih aktif dalam mencari informasi mengenai data kejadian penyakit, data
perilaku, dan data lingkungan, sehingga kita dapat mengetahui bagaimana
tindakan kita selanjutnya setelah mengetahui apakah lingkungan tersebut endemi
dengan suatu penyakit atau tidak.
Program pemberantasan penyakit menular harus lebih
dititik beratkan khususnya di daerah-daerah yang masih ketinggalan akan arus
informasi, transportasi dan komunikasi. Selain penambahan jumlah tenaga kesehatan serta
fasilitas-fasilitas lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
id.wikipedia.org/wiki/Sistem_kewaspadaan_dini_dan_respon
diskes.baliprov.go.id/id/SISTEM-KEWASPADAAN-DINI-KEJADIAN-LUAR-BIASA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar