Rabu, 23 November 2016

Makalah tentang Surveilens Epidemiologi dalam P2M



BAB I
PENDAHULUAN

1.1         LATAR BELAKANG
Untuk menciptakan bangsa yang memiliki kesadaran, kemauman dan kemampuan hidup sehat di butuhkan kerjasama masyarakat dalam menciptakan pembangunan kesehatan. Pembagunan kesehatan di Indonesi berfungsi untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat sehingga setiap orang dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
Di dalam pembangunan kesehatan, Indonesia memiliki masalah kesehatan yang cukup kompleks, di buktikan dengan meningkatnya kasus penyakit menular, banyaknya jumlah kematian yang terjadi, serta meningkatnya penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi. Hal ini merupakan masalah kesehatan yang sangat membutuhkan perhatian dan pembenahan. Namun dalam pembenahan dan pembangunan kesehatan tidaklah mudah karena di persulit dengan adanya keterbatasan sumber daya manusia baik dalam aspek kualitas maupun kuantitas. Dengan adanya Puskesmas sebagai upaya keperawatan kesehatan masyarakat yang terdiri dari upaya wajib dan upaya pengembangan, di harapkan pemberian pelayanan kesehatannya dapat mencegah dan memberantas penyakit menular melalui upaya wajibnya yaitu P2M.
Pencegahan dan pengendalian Penyakit Menular merupakan program pelayanan kesehatan untuk mencegah dan mengendalikan penularan penyakit menular/infeksi (misalnya TB, DBD, kusta, dll). Tujuan dari P2M ini yaitu untuk menurunkan angka kesakitan, kamatian dan kecacatan akibat penyakit menular. Prioritas penyakit menular yang akan di tanggulangi adalah malaria, demam berdarah dangue, diare, polio, filaria, kusta, tuberkolosis paru, HIV/AIDS, pneumonia dan penyakit-penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi. Uraian tugas umum untuk koordinasi unit pencegahan dan pemberantasan penyakit menular yaitu menyusun perencanaan dan evaluasi kegiatan di unit P2M, mengkoordinir dan berperan aktif terhadap kegiatan di unitnya, dan ikut serta aktif mencegah dan mengawasi terjadinya peningkatan kasus penyakit menular serta menindak lanjuti terjadinya KLB.  Adapun kegiatan pokok dari P2M terdiri dari pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, peningkatan imunisasi, penemuan dan tatalaksana penderita, peningkatan surveilens epidemiologi dan penanggulangan wabah serta peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit.

1.2         RUMUSAN MASALAH
1.    Jelaskan tentang surveilens epidemiologi dalam P2M
2.    Apa yang di maksud dengan SKD KLB dalam P2M?
3.    Apa yang di maksud dengan vektor kontrol?
4.    Jelaskan mengenai investigasi wabah


1.3         TUJUAN
1.  Agar mengetahui surveilens epidemiologi dalam P2M
 2. Untuk mengetahui bagaimana SKD KLB dalam P2M
 3. Memahami apa yang di maksud dengan vektor kontrol
 4. Mengetahui bagaimana investigasi wabah 
























BAB II
PEMBAHASAN

2.1       SURVEILENS EPIDEMIOLOGI DALAM P2M
Ruang Lingkup Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit:
- Imunisasi
- Surveilans epidemiologi
- TBC
- Malaria
- Kusta
- DBD
- Penanggulangan KLB
- ISPA/Pnemonia
- Filariasis
- AFP
- Diare
- Rabies/Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR)
- Kesehatan Matra (Haji dan P. Bencana)
- Frambusia
- Leptospirosis
- HIV/AIDS
- Penyakit tidak menular (DM, hipertensi, dll).

Definisi epidemiologi menurut WHO (1989) adalah ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan dari peristiwa kesehatan dan peristiwa yang berkaitan dengan kesehatan yang menimpa sekelompok masyarakat dan menerapkan ilmu tersebut untuk memecahkan masalah-masalah kesehatan.
Pengertian Surveilans (WHO) adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan aalisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tinakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.

Tujuan surveilans:
1.  Menentukan data dasar/besarnya masalah kesehatan
2.  Memantau atau mengetahui kecenderungan penyakit
3.  Mengidentifikasi adanya kejadian luar biasa
4.   Membuat rencana, pemantauan, penilaian atau evaluasi program kesehatan.

Subsistem surveilans epideiologi kesehatan:
1.  Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular
2.  Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
3.  Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku
4.  Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan
5.  Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentan Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
Jenis-jenis penyakit yang diamati di Puskesmas (STP):

1.    Kolera
2.    Diare 
3.    Diare Berdarah
4.    Tifus perut klinis
5.    TB Paru BTA +
6.    TB Paru Klinis
7.    Kusta PB
8.    Kusta MB
9.    Campak
10.  Difteri
11.  Batuk Rejan
12.  Tetanus
13.  Hepatitis Klinis
14.  Malaria Klinis
15.  Malaria Vivax
16.  Malaria Falsifarum
17.  Malaria mix
18.  Demam Berdarah Dengue
19.  Demam Dengue
20.  Pnemonia
21.  Sifilis
22.  Gonore
23.  Frambusia
24.  Filariasis
25.  Influenza
Menurut Amiruddin (2013) unsur-unsur surveilens epidemiologi untuk penyakit menular, yaitu:
1.    Pencatatan kematian
pencatatan kematian yang di lakukan di tingkat desa di laporkan ke kantor kelurahan lalu ke kantor kecamatan dan Puskesmas, sementara itu dari kantor kecamatan, pencatatan tersebut di kirim ke kantor kabupaten/kota. Unsur ini akan bermanfaat bila pada pencatatan kematian cepat di olah dan hasilnya segera di beritahukan kepada yang berkepentingan.
2.    Laporan penyakit unsur ini penting untuk mengetahui distribusi penyaakit menurut waktu, apakah musiman, cylic atau secular. Dengan demikian dapat di ketahui pula ukuran endemis suatu penyakit. Diagnosis penyakit dan waktu mulai timbulnya penyakit merupakan hal yang penting di catat.
3.    Laporan wabah
Laporan wabah dengan distribusi penyakit menurut waktu, tempat dan orang penting artinya untuk menganalisis dan menginterpretasikan data dalam rangka mengetahui sumber dan penyebab wabah tersebut.
4.    Ppemeriksaan Laboratorium merupakan suatu srana yang penting untuk mengetahui kuman penyebab penyakit menular dan pemeriksaan tertentu untuk penyakit-penyakit lainnya, misalnya kadar gula darah untuk penyakit diabetes mellitus.
5.    Penyakit khusus penyelidikan kasusu untuk penyakit khusus di maksudkan untuk mengetahui riwayat ilmiah penyakit yang belum di ketahui, terjadi pada seseorang atau lebih individu.
6.    Penyelidikan wabah bila terjadi lonjakan frekuensi penyakit yang melebihi frekuensi biasa, perlu di adakan penyelidikan wabah dengan analisis data sekunder sehingga dapat di ketahui terjadinya letusan tersebut. Dalam hal ini di perlukan diagnosis labiratoris di samping penyelidikan epidemic di lapangan.
7.    Survei
survei ialah suatu cara penelitian epidemiologi untuk mengethui prevalens penyakit. Dengan ukuran ini dapat di ketahui luas masalah penyakit tersebut. Setelah survei pertama di lakukan, berikan pengobatan.

2.2       SKD KLB DALAM P2M
a.  Pengertian  KLB :
(1) Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB adalah kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi  KLB beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menerapkan teknologi surveilans epidemiologi dan dimanfaatkan untuk meningkatkan sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya-upaya dan tindakan penanggulangan KLB yangcepat dan tepat.
(2) Peringatan kewaspadaan dini KLB adalah pemberian informasi adanya ancaman KLB pada suatu daerah dalam periode waktu tertentu.
(3) Deteksi dini KLB adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB dengan cara melakukan intensifikasi pemantauan secara terus menerus dan sistematis terhadap perkembangan penyakit berpotensi KLB dan perubahan kondisi rentan KLB agar dapat mengetahui secara dini terjadinya KLB
(4) Kondisi rentan KLB adalah kondisi masyarakat, lingkungan, perilaku dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang merupakan faktor risiko terjadinya KLB.
KLB adalah keadaan yang  melebihi  keadaan biasa, pada satu/sekelompok masyarakat tertentu (Mac Mahon and Pugh, 1970; Last, 1983, Benenson, 1990)
KLB adalah peningkatan frekuensi penderita penyakit, pada populasi tertentu, pada tempat dan musim atau tahun yang sama (Last,1983).
Kejadian  Luar  Biasa atau  KLB adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu. Kriteria KLB (kriteria kerja) antara lain:
1.    Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/tidak di kenal di suatu  daerah.
2.    Adanya peningkatan kejadian kesakitan/kematian yang dua kali atau lebih di bandingkan dengan jumlah kesakitan/kematian yang biasa terjadi pada kurun waktu sebelumnya (jam,hari,minggu) tergantung dari jenis penyakitnya.
3.    Adanya peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 kurun waktu (jam,hari,minggu) berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
4.    Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukan kenaikkan dua kali lipat atau lebih di bandingkan dengan angka rata-rata perbulan dari tahun sebelumnya.
5.    Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih di bandingkan dengan angka rata-rata perbulan dari tahun sebelumnya.
6.    Case Fatality Rate (CFR) dari suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukan kenaikkan 50% atau lebih, di banding dengan CFR dari periode sebelumnya.
7.    Proporsional Rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih periode yang sama dalam kurun waktu/tahun sebelumnya.
8.    Beberapa penyakit khusus: kolera, DBD/DSS:
a.    Setiap dari peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah endemis)
b.    Terdapat satu atau lebih penderita baru di mana pada periode 4 minggu sebelumnya daerah tersebut di nyatakan bebas dari penyakit yang bersangkutan.
       9. Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita: keracunan makanan,
             keracunan pestisida.

Penyelidikan epidemiologi KLB yaitu semua kegiatan yang dilakukan untuk memastikan adanya penderita penyakit yang dapat menimbulkan KLB, mengenai sifat-sifat penyebabnya dan faktor-fator yang mempengaruhi terjadinya dan penyebarluasannya.
Tujuan Penyelidikan Epidemiologi KLB adalah untuk menentukan jenis penyakit yang menimbulkan KLB dan cara-cara mencegah meluasnya daerah/populasi yang terkena dan cara-cara pemberantasannya.

Sistem Kewaspadaan  Dini (Early Warning Alert) dirintis dan dikembangkan sejak 2007 oleh Departemen Kesehatan RI yang diadopsi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang dimodifikasi sesuai dengan karakter Indonesia dalam upaya mewujudkan tindakan atau respon cepat terhadap adanya potensi atau munculnya KLB.  Sistem ini bekerja dengan cara memantau perkembangan tren suatu penyakit menular potensial wabah/KLB dari waktu ke waktu dalam periode mingguan.
Sistim Kewaspadaan Dini dilaksanakan pertama kali di Provinsi Lampung dan Bali. Selanjutnya diikuti Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah. Targetnya pada tahun 2014 seluruh provinsi di Indonesia sudah melaksanakan Sistim Kewaspadaan Dini dan Respon.
b.  Cara Kerja Sistem Kewaspadaan Dini
Sistem didasarkan pada pelaporan kasus di lapangan.  Para petugas kesehatan seperti bidan, mantri dan puskesmas pembantu (pustu) melakukan pelaporan kepada petugas surveilans di Puskesmas melalui SMS/HT. Petugas surveilans puskesmas akan mengirimkan data yang diterima ke kabupaten juga melalui SMS. Data akan dientri dan dianalisa oleh kabupaten, lalu dikirim melalui e-mail ke ke provinsi dan pusat dengan menggunakan software khusus yang dapat menghasilkan peringatan dini (sinyal kewaspadaan) menurut tempat, waktu dan jenis penyakitnya. Bila dalam analisis muncul alert atau signal maka kabupaten segera lakukan respons (verifikasi data, penyelidikan epidemiologi, konfirmasi laboratorium dan penanggulangan) sesuai dengan situasi dan kondisi. Respons juga dapat dilakukan secara bersama dengan puskesmas. Penyakit dan syndrome yang dilaporkan dalam system ini adalah :
·         Diare Akut
·         Malaria Konfirmasi
·         Tersangka Demam Dengue
·         Pneumonia
·         Diare Berdarah
·         Tersangka Demam Tifoid
·         Jaundice Akut
·         Tersangka DBD
·         Tersangka Flu Burung pada Manusia
·         Tersangka Campak
·         Tersangka Difteri
·         AFP (Lumpuh Layuh Mendadak)
·         Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies
·         Tersangka Antrax
·         Demam yg tidak diketahui sebabnya
·         Tersangka Kolera
·         Kluster Penyakit yg tidak diketahui
·         Tersangka Meningitis/Encephalitis
·         Tersangka Tetanus Neaonatorum
·         Tersangka Tetanus
·         Tersangka Pertussis
·         ILI
Semua kasus yang dilaporkan dalam Sistim Kewaspadaan Dini adalah kasus baru dengan kriteria : Pasien yang datang  berobat dengan diagnosis penyakit yang tidak sama dengan diagnose penyakit pada kunjungan sebelumnya atau pasien datang berobat dengan diagnosis penyakit yang sama dengan kunjungan sebelumnya tetapi sudah pernah sembuh.
Penanggulangan KLB/wabah penyakit menular diatur dalam UU No.4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular, Permenkes no 949 tahun 2004 tentang pedoman penyelenggaraan SKD KLB dan PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah pusat dan provinsi sebagai daerah otonom yang berpengaruh terhadap penyelenggaran penggulangan KLB/wabah serta peraturan terkait lainnya yang berhubungan dengan SKD KLB.
c.  Dampak KLB
KLB penyakit dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kesakitan dan kematian yang besar sehingga membutuhkan perhatian dan penanganan oleh semua pihak yang terkait. Kejadian-kejadian KLB perlu dideteksi secara dini dan diikuti tindakan yang cepat dan tepat, perlu diidentifikasi ancaman KLB agar dapat dilakukan peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB/wabah.
d.  Ruang Lingkup
Kegiatan SKD KLB meliputi kajian epidemiologi secara terus menerus dan sistematis terhadap penyakit berpotensi KLB dan kondisi rentan KLB, peringatan kewaspadaan dini KLB dan peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan sarana dan prasarana kesehatan pemerintah, swasta dan masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya KLB/wabah.
e.  Tujuan penyelenggaraan Kegatan SKD KLB
Terselenggaranya kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB, seperti  (1) Teridentifikasinya adanya ancaman KLB; (2)Terselenggaranya peringatan kewaspadaan dini KLB; (3)Terselenggaranya kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya KLB; (4) Terdeteksinya secara dini adanya kondisi rentan KLB; (4) Terdeteksinya secara dini adanya KLB; (5) Terselenggaranya penyelidikan dugaan KLB.
f.  Penyelenggaraan SKD KLB
Dalam penyelenggaraan SKD KLB dapat dilakukan dengan : (1) Pengorganisasian, Sesuai dengan peran dan fungsinya maka setiap unit pelayanan kesehatan, Dikes kab./kota, provinsi dan Depkes RI wajib menyelenggarakan SKD KLB dengan membentuk unit pelaksana yang bersifatfungsional atau struktural; (2) Sasaran, sasaran SKD KLB meliputi penmyakit berpotensi KLB dan kondisi rentan KLB; (3) Kegiatan SKD KLB.
Secara umum kegiatan SKD KLB meliputi :
1.    Kajian Epidemiologi
Untuk mengetahui adanya ancaman KLB, maka dilakukan kajian secara terus menerus dan sistematis terhadap berbagai jenis penyakit berpotensi KLB dengan menggunakan kajian. Kajian tersebut diantaranya adalah : Data surveilans epidemiologi penyakit berpotensi KLB; Kerentanan masyarakat spt status gizi yang buruk, imunisasi yang tdk lengkap, personal hygiene yang buruk dll; Kerentanan lingkungan spt sanitasi dan lingkungan yang jelek; Kerentanan pelayanan kesehatan spt sumberdaya, sarana dan prasarana  yang rendah atau kurang memadai; Ancaman penyebaran penyakitberpotensi KLB dari daerah lain; Sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi.Sumber data surveilans epidemiologi penyakit adalah :Laporan KLB/wabah dan hasil penyelidikan KLB, Data epidemiologi KLB dan upaya penanggulangannya, Surveilans terpadu penyakit berbasis KLB, Sistem peringatan dini KLB di rumah sakit.Sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi adalah :Data surveilans terpadu penyakit, Data surveilans khusus penyakit berpotensi KLB, Data cakupan program. Data cakupan program tersebut diantaranya adalah  Datalingkungan pemukiman, dataperilaku masyarakat, data pertanian, data meteriologi dan fisika;Informasi masyarakat sebagai laporan kewaspadaan dini; Data terkait lainnya.
2.    Peringatan Kewaspadaan
Peringatan kewaspadaan dini KLB dan atau terjadinya peningkatan KLB pada daerah tertentu dibuat untuk jangka pendek (periode 3 – 6 bulan yang akan datang) dan disampaikan kepada semua unitterkait di Dikes kab./kota, provinsi dan Depkes RI, sektor terkait dan masyarakat sehingga mendorong peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB di unit pelayanan kesehatan dan program terkait serta peningkatan kewaspadaan masyarakat perorangan dan kelompok.Peringatan kewaspadaan dini KLB dapat juga dilakukan terhadap penyakit berpotensi KLB dalam jangka panjang (periode 5 tahun yangakan datang) agarterjadi kesiapsiagaan yang lebih baik serta dapat dijadikan acuan perumusan perencanaan strategis program penanggulangan KLB. Suatu wilayah tertentu dinyatakan KLB apabila memenuhi kriteria sbb :
(a) Angka kesakitan dan atau angka kematian di suatu wilayah (Desa/Kelurahan, Kecamatan) menunjukkan kenaikan yang mencolok (bermakna) selama 3 kali masa observasi berturut-turut (Harian atau Mingguan)
(b) Jumlah penderita dan atau jumlah kematian di suatu wilayah (Desa/Kelurahan, Kecamatan) menunjukkan 2 kali atau lebih dalam periode waktu tertentu (Harian, MIngguan, Bulanan) dibandingkan dengan rata-rata dalam satu tahun terakhir
(c) Peningkatan CFR (case fatality rate) pada suatu wilayah (Desa/Kelurahan, Kecamatan) dalam waktu satu bulan dibandingkan CFR bulan lalu
(d) Peningkatan jumlah kesakitan atau kematian dalam periode waktu (Mingguan, Bulanan) di suatu wilayah (Desa/Kelurahan, Kecamatan) dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun yang lalu.
3.    Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan terhadap KLB
Kewaspadaan dan peningkatan kesiapsiagaan terhadap KLB meliputi peningkatan kegiatan surveilans untuk deteksi dini kondisi rentan KLB, peningkatan kegiatan surveilans untuk deteksi dini KLB, penyelidikan epidemiologi adanya dugaan KLB, kesiapsiagaan menghadapi KLB dan mendorong segera dilaksanakan tindakan penggulangan KLB.
4.    Deteksi dini kondisi rentan KLB
Deteksi dini kondisi rentan KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya kerentanan masyarakat, kerentanan lingkungan, perilaku dan kerentanan pelayanan kesehatan terhadap KLB dengan menerapkan cara-cara surveilans epidemiologi atau PWS kondisi rentan. Dalam penerapan cara surveilans epidemiologi terhadap KLB, dapat dilakukan dengan : (1) Identifikasi kondisi rentan KLB, (2) Mengidentifikasi secara terus-menerus perubahan kondisi lingkungan, kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan, kondisi status kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan KLB di daerah, (3) Pemantauan wilayah setempat kondisi rentan KLB. Setiap sarana pelayanan kesehatan merekam data perubahan kondisi rentan KLBmenurut desa/kelurahan atau lokasi tertentu lainnya, menyusun tabel dan grafik PWS kondisi rentan KLB. Setiap kondisi rentan KLB dianalisis terus-menerus dan secara sistematis untuk mengetahui secara dini adanya ancaman KLB, (4) Penyelidikan dugaan kondisi rentan KLB. Penyelidikan tersebut dapat dilakukan : Di Sarkes secara aktif mengumpulkan informasi kondisi rentan KLB dari berbagai sumber termasuk laporan perubahan kondisi rentan oleh masyarakat,perorangan atau kelompok; Di Sarkes petugas meneliti dan mengkaji data kondisi rentan KLB, data kondisi kesehatan lingkungan dan perilaku masyarakat, status kesehatan masyarakat,status pelayanan kesehatan; Petugas kesehatan mewawancarai pihak-pihak terkait yang patut diduga mengetahui adanya perubahan kondisi rentan KLB; Mengunjungi daerah yangdicurigai terdapat perubahan kondisi rentan.
5.    Deteksi dini KLB
Deteksi dini KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya KLB dengan mengidentifikasi kasus berpotensi KLB, pemantauan wilayah setempat terhadap penyakit-penyakit berpotensi KLB dan penyelidikan dugaan KLB : (1) Identifikasi kasus berpotensi KLB. Setiap kasus berpotensi KLB yang datang ke UPK diwawancarai kemungkinan adanya penderita lain disekitar tempat tinggal kemudian dilanjutkan dengan penyelidikan kasus; (2) PWS penyakit berpotensi KLB. Setiap UPK melakukan analisis adanya dugaan peningkatan penyakit dan faktor risiko yang berpotensi KLB diikuti penyelidikan kasus; (3) Penyelidikan dugaan KLB. Penyelidikan dugaan KLB dilakukan dengan cara : Di UPK setiap petugas menanyakan kepada setiap pengunjung UPK tentang kemungkinan adanya peningkatansejumlah penderita yang diduga  KLB pada lokasi tertentu; Di UPK setiap petugas meneliti register rawat jalan dan rawat inap khususnya yang berkaitan dengan alamat penderita, umur dan jensis kelamin atau karakteristiklain; Petugas kesehatan mewawancarai kepala desa atau pihak yang terkait yang mengetahui keadaan masyarakat tentang adanya peningkatan kasus yang diduga KLB; Membuka pos pelayanan di lokasi yangdiduga terjadi KLB; Mengunjungi rumah-rumah penderita yang dicurigai memunculkan KLB.  Deteksi dini KLB dapat dilakukan melalui : pelaporan kewaspadaan KLB oleh masyarakat, Perorangan dan organisasi yang wajib membuat laporan kewaspadaan KLB antara lain : Orang yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit berpotensi KLB; Petugas kesehatan yang memeriksa penderita yangberpotensi KLB; Kepala instansi yangterkait seperti kepala pelabuhan, kepala stasiun kereta api, kepala bandara udara dll serta UPK lainnya; Nahkoda kapal, pilot dan sopir.
6.    Kesiapsiagaan menghadapi KLB
Kesiapsiagaan menghadapi KLB dilakukan terhadap SDM, sistem konsultasi dan referensi, sarana penunjang, laboratorium dan anggaran biaya, strategi dan tim penanggulangan KLB serta jejaring kerja tim penanggulangan KLB kabupaten/kota, provinsi dan pusat.
7.    Tindakan Penanggulangan KLB yang Cepat dan Tepat
Setiap daerah menetapkan mekanisme agar setiap kejadian KLB dapat terdeteksi dini dan dilakukan tindakan penanggulangan dengan cepat dan tepat. Tindakan penanggulangan KLB yang cepat dan tepat dilakukan dengan : Advokasi dan Asistensi Penyelenggaran SKD KLB Advokasi dan asistensi tujuannya agar SKD KLB berjalan secara terus menerus dengan dukungan daripihak yang terkait;  Pengembangan SKD KLB Darurat. Untuk menghadapi ancaman terjadinya KLB penyakit tertentu yang sangat serius dapat dikembanghkan dan atau ditingkatkan SKD KLB penyakittertentu dalam periode waktu terbatas dan wilayah terbatas.
8.    Peran Unit SKD KLB dan Mekanisme Kerja
Masing masing unit yang ada dijajaran kesehatan dapat berperan sebagai berikut : (1)Peran Dinas Kesehatan Provinsi : Kajian Epidemiologi Ancaman KLB; Peringatan Kewaspadaan Dini KLB; Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Terhadap KLB; Advokasi dan Asistensi Penyelenggaraan SKD KLB,(2) Peran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota: Kajian Epidemiologi Ancaman KLB, Peringatan Kewaspadaan Dini KLB, Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Terhadap KLB, Advokasi dan Asistensi Penyelenggaraan SKD KLB, Pengembangan SKD KLB Darurat; (3) Peran Puskesmas : Kajian Epidemiologi Ancaman KLB, Peringatan Kewaspadaan Dini KLB, Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Terhadap KLB, (4) Peran Masyarakat (perorangan, kelompok dan masyarakat): Peningkatan kegiatan pemantauan perubahan kondisi rentan; Peningkatan kegiatan pemantauan perkembangan penyakit dengan melapor kepada puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota sebagai laporan kewaspadan dini; Melaksanakan penyuluhan serta mendorong kewaspadaan KLB di tengah masyarakat; Melakukan identifikasi penderita, pengenalan tatalaksana kasus dan rujukan serta upaya pencegehan dan pemberantasan tingkat awal
9.    Indikator Kinerja
Indikator kinerja SKD KLB adalah
 (1) Kajian dan peringatan kewaspadaan dini KLB secara teratur setidak-tidanya setiap bulan dilaksanakan oleh Dikes Kabupaten/Kota, Provinsi dan Depkes RI
(2) Terselenggaranya deteksi dini KLB penyakit berpotensi KLB prioritas di puskesmas, Rumah Sakit dan Laboratorium
(3) Kegiatan penyelidikan dan penanggulangan KLB yangcepat dan tepat terlaksana kurang dari 24 jam sejak teridentifikasi adanya KLB atau dugaan KLB
(4) Tidak terjadi KLB yang besar dan berkepanjangan.

2.3.      VEKTOR KONTROL
a. Pengertian vektor
Vektor adalah arthropoda yang dapat menimbulkan dan menularkan suatu infectious agent dari sumber infeksi kepada induk semang yang rentan. Bagi dunia kesehatan masyarakat, binatang yang termasuk kelompok vektor yang dapat merugikan kehidupan manusia karena disamping mengganggu secara langsung  juga sebagai perantara penularan penyakit, seperti yang sudah diartikan di atas (Nurmaini, 2001).
Menurut  WHO (1993)  vektor adalah seekor binatang yang membawa bibit penyakit dari seekor binatang  atau seorang manusia kepada binatang lainnya atau  manusia lainnya. Chandra (2006) menyebutkan bahwa vektor adalah organisme hidup yang dapat menularkan agen penyakit dari suatu hewan ke hewan lain atau manusia.  Arthropoda merupakan vektor penting dalam penularan penyakit parasit dan virus yang spesifik.
Vektor  hanya terdiri atas arthropoda, sedangkan tikus, anjing, dan kucing bertindak sebagai reservoar (Chandra, 2006). Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2011) menyebutkan bahwa  tikus bertindak sebagai  reservoar untuk penyakit seperti salmonelosis, demam gigitan tikus, trichinosis, dan demam berdarah Korea, sedangkan vektornya adalah pinjal, kutu, caplak, dan tungau yang merupakan  arthropoda.  Sumber lain menyebutkan bahwa tikus hanya sebagai binatang pengganggu (Nurmaini, 2001).
Ada dua jenis vektor  yaitu vektor biologis dan vektor mekanis. Vektor disebut vektor biologis jika sebagian siklus hidup parasitnya terjadi dalam tubuh vektor tersebut.  Vektor disebut  sebagai  vektor mekanis  jika sebagian  siklus  hidup  parasitnya  tidak  terjadi dalam tubuh vektor tersebut (Natadisastra dan Agoes, 2005). Contohnya lalat sebagai vektor  mekanis  dalam  penularan penyakit  diare, trakoma, keracunan  makanan, dan  tifoid, sedangkan nyamuk Anopheles sebagai vektor  biologis dalam penularan penyakit malaria (Chandra, 2006).
b. Klasifikasi Vektor
Arthropoda (arthro-pous) adalah filum dari kerajaan binatang yang termasuk di dalamnya kelas Insecta, kelas Arachnida serta kelas Crustacea, yang kebanyakan speciesnya penting secara medis, sebagai parasit, atau vektor organismeyang dapat menularkan penyakit pada  manusia. Klasifikasi arthropoda sebagai vektor penyakit secara rinci sebagai berikut (Chandra, 2006):
1.  Kelas Insecta
            -  Mosquito (Nyamuk)
                    1.  Anophelesne
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhwLezj-ZESmyVIxqj2QalKocNPSzpFASuYNnQ5ylyKnWx71sjsNh7Nw7R1gLKEKAxOkzHVHdl2Dy_3aqR7GkAN6uoOvOcr5Ua1-1sxNBQmYyzzFwxn4aUWYUkWubw0hhOuRuYlXU8UnaIZ/s320/Slide1.JPG
          2. Culicines
                     3.  Aedes
          
              -  Flies (Lalat)
                      1. Houseflies (lalat rumah, Musca domestica)

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirR2ZZ05ZSjnjmJXUakm36ZRI7V8Jpj5cXR9hCZ3v1oZGRPbWnvfTa64IF2-ipSAJRO9Q0jfP3UAzQE2Op5YLkrDF-laKUUgy3DfU8D7yGi5HsStYns1zQGdNQ1dhJda-kUqri5-G4KIAf/s320/Slide2.JPG
              2. Sandflies (lalat pasir, genus Phlebotomus)
                         3. Tsetse flies (lalat tsetse, genus Glossina)
                         4. Blackflies (lalat hitam, genus Simulium)

                 -  Human Lice (Tuma)
                         1. Head and body lice (tuma kepala atau Pediculus humanus var capitis dan tuma
                             badan atau Pediculus humanus var corporis)
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhW7vX7ZC3ny6qcHMf6p6gmmoZALL4FKyDqpZJtFGTeHnBAv_svZxsaXrjIT0IUeQpUdj-7kY9QHDI7fMfhUY6zdVQWqtAQvF91Nk9mzN8ycgWB82xkBOmO1yJee2uOiVDLAc6gClOBV7Xo/s320/Slide3.JPG
                 2. Crab lice (tuma kemaluan atau Phthirus pubis)

          - Fleas (Pinjal)
                1. Rat fleas (pinjal tikus).
Beberapa pinjal tikus yang penting untuk bidang media adalah sebagai berikut:
               1. Rat fleas (oriental)
                        -  Xenopsylla chepis
                        -  Xenopsylla astila
                        -  Xenopsylla braziliensis
               2. Rat fleas (temperate zone) yaitu Nospsylla fasciatus

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8XvdXr4Tg8X1YvSyBSCkCI_GkVU4cHOhZii8BT9zyUXEDfOKYdslgl8II0BY_GvjinIQW1Wes7XT1kBQZRocBoq7bwzmqH_l6igzPEwD0WtBZ-PHF8G79nqKYDkZUTA2Il7YuX0fRJP_J/s320/Slide4.JPG
        2. Human fleas yaitu Pulex irritans
                    3. Dog and cat fleas yaitu Ctenocephalus felis
                    4. Reduviid bugs (kissing bugs, Penggigit Muka)

2. Kelas Arachnida
    1. Tick (Sengkenit)
        -  Hard Ticks (sengkenit keras, famili Ixodidae)
        - Soft Ticks (sengkenit keras, famili Argasidae).

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi08xhTqTqx8fl5K-Bqeo3LqA_E-irKuIqlw2GljIUxLTdlvs6Lqadwa3XVFWHiZpm5BYwBjQ2-xJ2gE5zBvDxVWjW3HVcD6Jxg5LxyfPp-1JjpeYFpEGl78OxkIS3GNuFRctf6l9_4hqz4/s320/Slide5.JPG

2.  Mites (Chiggers, famili Trombidiidae)
                -   Leptotrombidium dan Trombiculid mites (tungau musim panen, tungau merah)
                -  Itch mites (tungau kudis, scabies, famili Sascoptidae)

3.  Kelas Crustacae yaitu Cyclops
Beberapa jenis tikus (rodensia) pembawa vektor penyakit adalah Rattus norvegicus, Rattus rattus diardi, Mus musculus. Rattus norvegicus (tikus got) berperilaku menggali lubang di tanah dan hidup dilibang tersebut. Sebaliknya Rattus rattus diardii (tikus rumah) tidak tinggal di tanah tetapi disemak-semak dan atau diatap bangunan. Bantalan telapak kaki jenis tikus ini disesuaikan untuk kekuatan menarik dan memegang yang sangat baik. Hal ini karena pada bantalan telapak kaki terdapat guratan-guratan beralur, sedang pada rodensia penggali bantalan telapak kakinya halus. Mus musculus (mencit) selalu berada di dalam bangunan, sarangnya bisa ditemui di dalam dinding, lapisan atap (eternit), kotak penyimpanan atau laci (Depkes RI, 2011).

c. Peranan Vektor
Penularan penyakit pada manusia melalui vektor penyakit berupa serangga dikenal sebagai arthropod-borne diseases atau sering juga disebut sebagai vektor-borne diseases. Ada 3 jenis cara transmisi arthropod-bome diseases, yaitu (Chandra, 2006):
1.  Kontak Langsung
Arthropoda secara langsung memindahkan penyakit atau infestasi dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung. Contohnya adalah scabies dan pediculus (Chandra, 2006).


2.  Transmisi Secara Mekanik
Agen penyakit ditularkan secara mekanik oleh arthropoda, seperti penularan penyakit diare, typhoid, keracunan makanan dan trachoma oleh lalat. Secara karakteristik arthropoda sebagai vektor mekanik membawa agen penyakit dari manusia berupa tinja, darah, ulkus superfisial, atau eksudat. Kontaminasi bisa hanya pada permukaan tubuh arthropoda tapi juga bisa dicerna dan kemudian dimuntahkan atau dikeluarkan melalui ekskreta (Chandra, 2006).
Agen penyakit yang paling banyak ditularkan melalui arthropoda adalah enteric bacteria yang ditularkan oleh lalat rumah. diantaranya adalah Salmonella typhosa, species lain dari salmonella, Escherichia coli, dan Shigella dysentry yang paling sering ditemui dan paling penting. Lalat rumah dapat merupakan vektor dari agen penyakit tuberculosis, anthrax, tularemia, dan brucellosis (Chandra, 2006).
3.  Transmisi Secara Biologi
Bila agen penyakit multiflikasi atau mengalami beberapa penularan perkembangan dengan atau tanpa multiflikasi di dalam tubuh arthropoda, ini desebut transmisi biologis dikenal ada tiga cara, yaitu:
-        Propagative
Bila agen penyakit tidak mengalami perubahan siklus, tetapi multiflikasi di dalam tubuh vektor. Contohnya Plague bacilli pada rat fleas.
-       Cyclo-propagative
Agen penyakit mengalami perubahan siklus dan multiflikasi di dalam tubuh arthropoda. Contohnya parasit malaria pada nyamuk Anopheles.
-       Cyclo-developmental
Bila agen penyakit mengalami perubahan siklus, tetapi tidak mengalami multiflikasi di dalam tubuh arthropoda. Contohnya parasit filaria pada nyamuk Culex dan cacing pita pada cyclops.

Beberapa istilah dalam proses transmisi atrhropod-borne disease sebagai berikut (Chandra, 2006):
1.    Inokulasi (inoculation)
Masuknya agen penyakit atau bibit yang berasal dari arthropoda kedalam tubuh manusia melalui gigitan pada kulit atau deposit pada membrana mucosa disebut sebagai inokulasi (Chandra, 2006).
2.  Infestasi (infestation)
Masuknya arthropoda pada permukaan tubuh manusia kemudian berkembang biak disebut sebagai infestasi, contohnya scabies (Chandra, 2006).
3.  Extrinsic Incubation Period dan Intrinsic Incubation Period
Waktu yang diperlukan untuk perkembangan agen penyakit dalam tubuh vektor disebut sebagai masa inkubasi ektrinsik, sedangkan waktu yang diperlukan untuk perkembangan agen penyakit dalam tubuh manusia disebut sebagai masa inkubasi intrinsik. Contohnya parasit malaria dalam tubuh nyamuk anopheles berkisar antara 10-14 hari tergantung dengan temperatur lingkungan. Masa inkubasi intrinsik dalam tubuh manusia berkisar antara 12-30 hari tergantung dengan jenis plasmodium malaria (Chandra, 2006).
4.  Definitive Host dan Intermediate Host
Apabila terjadi siklus seksual dalam tubuh vektor atau manusia maka vektor atau manusia tersebut disebut sebagai host definitif, sedangkan apabila terjadi siklus aseksual maka disebut sebagai host intermediet. Contohnya parasit malaria mengalami siklus seksual dalam tubuh nyamuk dan siklus aseksual dalam tubuh manusia, maka nyamuk Anopheles adalah host definitif dan manusia adalah host intermediet (Chandra, 2006).
Vektor berperan dalam penularan arthropod-borne diseases. Arthropod-borne diseases merupakan penyakit yang penting dan seringkali bersifat endemis maupun epidemis dan menimbulkan bahaya kematian.

Arthropod-borne Diseases Berdasarkan Jenis Vektornya
No.
Vektor
Penyakit
1.
Nyamuk
Malaria, filariasis, demam kuning, demam berdarah dengue, encephalitis
2.
Lalat Rumah
Thypus abdominalis, salmonellosis, cholera, dysentry bacillary dan amoeba, tuberculosis, penyakit sampar, tularemia, anthrax, frambusia, conjunctivitis, demam undulans, trypanosomiasis, spirochaeta
3.
Lalat Pasir
Leishmaniasis, demam papataci, bartonellosis, demam phletobomus
4.
Lalat Tsetse
Trypanosomiasis, penyakit tidur
5.
Lalat Hitam
Oncheocerciasis
6.
Tuma Kepala, Tuma Badan, dan Tuma Kemaluan
Epidemic typhus, epidemic relapsing fever, demam parit
7.
Pinjal
Penyakit sampar, endemic thypus
8.
Kissing Bugs
Penyakit chagas
9.
Sengkenit
Rickettsia, penyakit virus seperti demam berdarah, penyakit bakteri dan spirochaeta
10.
Tungau
Penyakit tsutsugamushi, demam remiten, lymphadenitis, splenomegali
11.
Cyclops
Penyakit akibat parasit Diplyllobothrium latum, Dracunculus mendinensis, dan Gnasthostoma spinigerum
Sumber: Chandra, 2006
d.  Pengendalian Vektor Penyakit
Pembasmian dalam pengendalian vektor tidak mungkin dapat dilakukan sampai tuntas, yang mungkin dan dapat dilakukan adalah usaha mengurangi dan menurunkan populasi ke suatu tingkat yang tidak membahayakan kehidupan manusia, tetapi seharusnya dapat diusahakan agar segala kegiatan dalam rangka menurunkan populasi vektor dapat mencapai hasil yang baik. Perlu diterapkan teknologi yang sesuai, bahkan teknologi sederhanapun, yang penting didasarkan prinsip dan konsep yang benar (Nurmaini, 2001).
Beberapa prinsip dalam pengendalian arthropoda secara khusus antara lain (Chandra, 2006):
1.     Pengendalian lingkungan
Pengendalian lingkungan merupakan cara terbaik untuk mengontrol arthropoda karena hasilnya dapat bersifat permanen. Contohnya membersihkan tempat-tempat hidup arthropoda (Chandra, 2006).
2.     Pengendalian kimia
Pada pendekatan ini dilakukan penggunaan beberapa golongan insektisida, seperti golongan organoklorin, golongan organofosfat dan golonagn karbamat, tetapi penggunaan insektisida ini sering menimbulkan resistensi dan juga kontaminasi pada lingkungan (Chandra, 2006).   .
3.     Pengendalian biologi
Pengendalian biologi ditujukan untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat pemakaian insektisida yang berasal dari bahan-bahan beracun. Contoh pendekatan ini adalah pemeliharaan ikan (Chandra, 2006). 
4.     Pengendalian genetik.
Dalam pendekatan ini, ada beberapa teknik yang dapat digunakan, diantaranya steril technique, cytoplasmic incompatibility, dan choromosomal translocation (Chandra, 2006).  
Selain pengendalian terhadap arthropoda, perlu juga dilakukan pengendalian terhadap tikus yang berperan sebagai pembawa vektor seperti pinjal, kutu, caplak dan tungau. Berikut adalah pengendalian terhadap tikus (Depkes RI, 2011):
1.     Penangkapan tikus dengan perangkap
Apabila terdapat tanda-tanda keberadaan tikus, pada sore hari dilakukan pemasangan perangkap yang tempatnya masing-masing lokasi. Perangkap di dalam bangunan rumah (core) diletakan dilantai pada lokasi dimana ditemukan tanda-tanda keberadaan tikus, perangkap di lingkungan terbuka (inner bound) perangkap diletakan di pinggir saluran air, taman, kolam, di dalam semak-semak, sekitar Tempat Pembuangan Sampah (TPS), dan tumpukan barang bekas. Untuk setiap ruangan dengan luas sampai dengan 10 m2 dipasang satu perangkap. Setiap kelipatan 10 m2 ditambah satu perangkap (Depkes RI, 2011).
2.    Pemberantasan tikus dan mencit secara kimiawi dengan umpan beracun
Pemberantasan tikus secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan umpan beracun. Pengendalian tikus dengan menggunakan umpan beracun atau perangkap berumpan racun mempunyai efek sementara, racun perut (rodentisia campuran, antikoagulan kronik) adalah umpan beracun yang hanya dianjurkan digunakan didaerah atau tempat yang tidak dapat dicapai oleh hewan domestik dan anak-anak. Pengendalian tikus dengan umpan beracun sebaiknya sebagai pilihan terakhir. Bila tidak teliti cara pengendalian ini sering menimbulkan bau yang tidak sedap akibat bangkai tikus yang tidak segera ditemukan. Selain itu racun tikus juga sangat berbahaya bagi manusia hewan/binatang lainnya. Ada dua macam racun tikus yang beredar saat ini yaitu racun akut dan kronis. Racun akut harus diberikan dalam dosis letal, karena jika tidak, maka tikus tidak mati dan tidak mau lagi memakan umpan yang beracun sejenis, sedangkan apabila racun diberikan dalam dosis letal maka tikus akan mati dalam setengah jam kemudian (Depkes RI, 2011).
Dewasa ini perkembangan teknologi pengendalian vektor penyakit semakin berkembang. Nurhayati (2006) dalam artikel ilmiahnya melaporkan tentang prospek teknik nuklir bagi pemberantasan vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Teknik nuklir sangat bermanfaat dalam pengendalian vektor penyakit Demam Berdarah Dengue dengan Teknik Serangga Mandul (TSM) menggunakan cara irradiasi nyamuk menggunakan radiasi gamma pada stadium pupa dengan dosis antara 65-70 Gy. Teknik pengendalian ini sangat spesifik, ramah lingkungan, tidak menimbulkan resistensi dan hanya berpengaruh pada spesies target saja. Hal ini sangat berlainan dengan pemberantasan vektor cara konvensional menggunakan pestisida yang akan berefek terhadap pencemaran lingkungan, timbulnya resistensi terhadap pestisida tertentu dan matinya hewan non target. TSM merupakan teknik pilihan yang sangat efektif dan efisien baik secara tersendiri maupun terintegrasi dengan teknik lain dan dalam pelaksanaannya TSM akan lebih baik bila dikombinasikan dengan pengendalian lain dalam sistem pengendalian vektor secara terpadu.
Selain perkembangan tersebut Innovative Vector Control Consortium  (IVCC) juga telah menciptakan inovasi baru untuk mengendalikan vector-borne diseases, terutama bagi negara-negara berkembang dengan aksesibilitas yang kurang terhadap media pengendalian vektor. Diciptakan formulasi baru untuk insekstisida dan peralatan pengendalian vektor yang dapat diterapkan untuk mencegah semua indoor vector-borne diseases (Hemingway et al., 2006).


2.4        INVESTIGASI  WABAH
            Wabah adalah peningkatan kejadian kesakitan/kematian yang telah meluas secara cepat baik jumlah kasus maupun luas daerah terjangkit.
Macam penyakit menular:
              Penyakit karantina atau wabah (UU No.1 dan 2 tahun 1962): Kolera, Pes,
Demam kuning, Deman bolak-balik, Tifus Bercak Wabah, Poliomielitis dan Difteri).
              Penyakit menular dengan potensi wabah tinggi: DBD, Diare, Campak, Pertusis
dan Rabies, Avian Influenza, HIV/AIDS.
              Penyakit menular dengan potensi wabah rendah: malaria, meningitis,
frambusia, keracunan, influenza, ensefalitis, antraks, tetanus neonatorum
dan tifus abdominalis.
               Penyakit menular yang tidak berpotensi wabah : kecacingan, lepra, TBC,
Sifilis, Gonore dan Filariasis.
a. Langkah investigasi wabah
            Langkah melakukan investigasi wabh di lakukan dengan menggunakan pendekatan yang sistemik yang terdiri dari:
1. Persiapan investigasi lapangan
            Persiapan dapat di kelompokan dalam 3 kategori, yaitu:
-       Investigasi:    Pengetahuan ilmiah, perlengkapan dan alat
-       Administrasi: Prosedur administrasi termasuk izin dan pengaturan
-       Konsultasi:     Peran masing-masing petugas yang turun ke lapangan
2. Pemastian adanya wabah
-       Membandingkan jumlah yang ada saat itu dengan jumlah beberapa minggu atau bulan sebelumnya
-       Menentukan apakah jumlah kasus yang ada sudah melampaui jumlah yang di harapkan
-       Sumber informasi bervariasi bergantung pada situasinya
1. Catatan hasil surveilens
2. Catatan keluar dari rumah sakit, statistic kematian, register, dll
3. Bila data local tidak ada, dapat di gunakan rate dari wilayah di dekatnya atau data nasional.
4. Boleh juga di laksanakan survey di masyarakat menentukan kondisi penyakit yang biasanya ada.
-       Pseudo endemik (jumlah kasus yang di laporkan belum tentu suatu wabah):
1. Perubahan cara pencatatan dan laporan penderita
2. Adanya cara diagnosis baru
3. Bertambahnya kesadaran penduduk untuk berobat
4. Adanya penyakit lain dengan gejala yang serupa
5. Bertambahnya jumlah penduduk yang rentan

3. Pemastian diagnosis
            Semua temuan secara klinik harus dapat memastikan diagnosis wabah, yang harus di perhatikan yaitu:
-       Untuk memastikan bahwa hal tersebut telah di diagnosis dengan patut
-       Untuk menyingkirkan kesalahan laboratorium yang menyebabkan peningkatan kasus yang di laporkan
-       Semua temuan klinis harus di simpulkan dalam distribusi frekuensi
-       Kunjungan terhadap satu atau dua penderita.
4. Pembuatan definisi kasus
            Pembuatan definisi kasus adalah seperangkat kriteria untuk menentukan apakah seseorang harus dapat di klasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis di batasi oleh waktu, tempat dan orang. Penyelidikan sering membagi kasus menjadi pasti (compirmed), mungkin (probable), maragukan (possible), sensivitas dan spefsifitas.
5. Penemuan dan penghitungan kasus
            Informasi berikut ini di kumpulkan dari setiap kasus:
-       Data identifikasi (nama, alamat, nomor telepon)
-       Data demografi (umur, jenis kelamin, ras dan pekerjaan)
-       Data klinis
-       Faktor resiko; yang harus di buat khusus untuk tiap penyakit
-       Informasi pelapor untuk mendapatkan informasi tambahan atau member umpan balik
6. Epidemiologi deskriptif
-       Gambaran wabah berdasarkan waktu
-       Gambaran wabah berdasarkan tempat
-       Gambaran wabah berdasarkan ciri orang
7. Pembuatan hipotesis
-       Mempertimbangkan apa yang di ketahui tentang penyakit itu
-       Wawancara dengan beberapa penderita
-       Mengumpulkan beberapa penderita mencari kesamaan pemaparan
-       Kunjungan rumah penderita
-       Wawancara dengan petugas kesehatan setempat
-       Epidemiologi deskriptif
8. Penilaian hipotesis
-       Membandingan hepotesis dengan fakta yang ada
-       Dengan analisis epidemiologi untuk mengkuantifikasikan hubungan dan menyelidiki peran kebetulan
-       Uji kemaknaan statistik, kai kuadrat

9. Perbaikan hipotesis dan penelitian tambahan
-       Penelitian epidemiologi (epidemiologi analitik)
-       Penelitian laboratorium (pemeriksaan serum) dan lingkungan (pemeriksaan tempat pembuangan tinja)
10. Pengendalian dan pencegahan
            Pada umunya upaya pengendalian di arahkan pada mata rantai yang terlemah dalam penularan penyakit. Upaya pengendalian mungkin di arahkan pada agen penyakit, sumbernya atau reservoirnya.
11. Penyampaian hasil penyelidikan
-       Laporan harus jelas
-       Kesimpulan dan saran harus dapat di pertahankan secara ilmiah
-       Laporan lisan harus di lengkapi dengan laporan tertulis
-       Merupakan cetak biru untuk mengambil tindakan
-       Merupakan catatan dari pekerjaan, dokumen dari isu legal dan merupakan bahan rujukan apabila terjadi hal yang sama di masa mendatang


















BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
            Pencegahan penyakit menular adalah upaya yang ditujukan untuk mencegah, menunda, mengurangi, membasmi, mengeliminasi penyakit menular yang tidak atau menyebabkan kecacatan dgn menerapkan sebuah atau sejumlah intervensi yg telah dibuktikan efektif.

3.2  SA RAN
Dalam melakukan surveilans epidemiologi kita harus lebih aktif dalam mencari informasi mengenai data kejadian penyakit, data perilaku, dan data lingkungan, sehingga kita dapat mengetahui bagaimana tindakan kita selanjutnya setelah mengetahui apakah lingkungan tersebut endemi dengan suatu penyakit atau tidak.
Program pemberantasan penyakit menular harus lebih dititik beratkan khususnya di daerah-daerah yang masih ketinggalan akan arus informasi, transportasi dan komunikasi. Selain penambahan  jumlah tenaga kesehatan serta fasilitas-fasilitas lainnya.















DAFTAR PUSTAKA

id.wikipedia.org/wiki/Sistem_kewaspadaan_dini_dan_respon
diskes.baliprov.go.id/id/SISTEM-KEWASPADAAN-DINI-KEJADIAN-LUAR-BIASA






Tidak ada komentar:

Posting Komentar